Penyakit Menular Bernama “Mogok Main”

copaHari Minggu kemarin, tepatnya pada tanggal 28 Juni 2009, aku menonton secara langsung partai final Copa Dji Sam Soe 2009 antara Sriwijaya FC melawan Persipura. Aku datang ke stadion dengan antusias. Mengantri di pintu masuk selama hampir satu jam sambil berdesak-desakan pun tidak masalah bagiku. Tapi apa yang terjadi? Upacara pembukaan yang meriah dan penyanyian lagu Indonesia Raya yang penuh khidmat pun menjadi tak berarti kala Persipura tidak mau melanjutkan pertandingan di menit ke 60. Dan kemenangan WO pun didapatkan oleh Sriwijaya FC sekaligus mempertahankan gelar juara.

Mungkin hingga musim depan pun peristiwa ini akan selalu diingat. Bahkan hingga pagelaran Copa ke-1000 kelak. Menilik dari kejadian yang ada, boleh jadi Ernest Jeremiah merasa jengkel karena wasit Purwanto tidak meniup peluit kala bola mengenai tangan pemain bertahan Sriwijaya FC, Jacques Tsimi, di kotak terlarang. Dan dia pun melakukan protes keras bahkan sambil berusaha menanduk wasit. Purwanto pun tidak tinggal diam. Kartu merah pun keluar dari kantongnya. Dengan adanya kartu merah, suasana semakin tidak terkendali. Para ofisial di pinggir lapangan memerintahkan pemain untuk keluar. Bahkan pemain Persipura yang sebelumnya diganti yaitu Jack Komboy, menendang bangku pemain cadangan hingga terbalik dan menjebol papan penutupnya. Semua kejadian itu aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Saat itu pula, aku ragu Persipura akan kembali masuk ke lapangan.

Ada beberapa hal yang ingin aku katakan disini. Pertama, mengenai keputusan wasit. Aku pun melihat bahwa bola mengenai tangan Tsimi tapi aku masih dalam keadaan fifty-fifty untuk memvonis bahwa itu merupakan handsball. Kenapa? karena pada saat itu bola meluncur saat Tsimi hendak menghadang dengan punggungnya. Namun bola terlalu cepat dan mengenai lengan atas. Arah bola pun berbelok walaupun tidak terlalu tajam. Jadi menurutku, wasit Purwanto menganggap itu merupakan gerakan tangan yang pasif. Sehingga bukan merupakan sebuah handsball. Tetapi tentu saja para pemain Persipura mempunyai keputusan yang 1000% berbeda. Terutama Ernest Jeremiah yang berada tepat di depan Tsimi. Nah, yang ingin aku sampaikan adalah, seburuk apapun keputusan wasit, janganlah memprotes secara berlebihan. Protes hingga menyentuh badan wasit pun sebenarnya bisa mendapatkan peringatan atau kartu kuning. Apalagi berusaha menyerang wasit. Dalam keadaan seperti ini, kapten tim seharusnya bisa menenangkan temannya. Bisa jadi nanti Purwanto akan berdiskusi dengan hakim garis dan memberikan keputusan penalti. Tapi apa yang terjadi? Sang kapten yaitu Eduard Ivakdalam pun tersulut emosi. Padahal dia adalah pemain yang sudah sangat berpengalaman dan menjadi panutan rekan-rekan setimnya. Mengutip pernyataan Ernest Jeremiah yang mengatakan bahwa dia tidak marah ke SFC tetapi marah kepada wasit, maka, jelas-jelas ini menabuh genderang perang dengan wasit. Mungkin emosi berlebih juga terjadi karena Persipura tertinggal 0-1 melalui gol yang diciptakan oleh Obiora pada menit ke-51. Sekali lagi, apapun yang terjadi, janganlah terus berlaku tidak sportif dengan aksi mogok main. Lihatlah pada pertandingan Chelsea melawan Barcelona dimana seharusnya terjadi penalti namun wasit membiarkan. Semua masih bisa melanjutkan pertandingan dengan baik. Di saat penonton dan suporter seluruh Indonesia sudah bisa tertib, kenapa malah para pemain dan ofisial yang seperti itu? Apa mereka tidak sadar bahwa masyarakat Papua juga ingin melihat tim kesayangannya melanjutkan permainan? Terlebih lagi sisa waktu masih 30 menit. Lebih dari cukup bagi Persipura untuk membuat 30 gol balasan.

Mengenai pemilihan lokasi, aku mohon pada semua orang untuk mengetahui terlebih dulu kenapa bisa ditetapkan di Palembang. Aku sudah melihat berbagai komentar di berbagai media bahwa BLI tidak netral dengan menetapkan partai final di Stadion Jakabaring, Palembang. Di awal pagelaran, bahkan sejak penyelenggaraan Copa edisi pertama, partai final akan diadakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Tapi mengapa kali ini tidak? karena SUGBK disterilkan sebagai persiapan menjamu Manchester United. Artinya, sepakbola nasional kita DIANAKTIRIKAN demi kedatangan Wayne Rooney dkk. Bahkan beredar kabar kalau akan dipakai juga untuk kampanye pilpres salahsatu capres. Akhirnya alternatif ada di Stadion Kanjuruhan, Malang dan Stadion Si Jalak Harupat, Bandung. Tetapi pihak polda tidak mengeluarkan izin keamanan. Trus mau kemana lagi? Opsi menyelenggarakan partai final di Kaltim pun mencuat. Namun permasalahannya, antusiasme penonton disana rendah. Biaya yang dikeluarkan pun besar. Terlebih lagi Stadion Utama Kaltim juga memiliki jarak yang cukup jauh. Nah, kalo udah kayak gini, mau diadakan dimana? Mana lagi stadion yang representatif untuk pengadaan partai final? Kalau para pemrotes mengatakan ini tidak adil, kenapa pada waktu penyelenggaraan-penyelenggaraan sebelumnya baik di ajang Copa atau Liga tidak pernah protes sewaktu diadakan di Jakarta? Dimana pada saat itu Persija dapat mencapai babak semifinal dan final?

Intinya, dimanapun suatu tim itu bermain, seharusnya tidak menjadikan suatu masalah. Kita juga tidak tahu bagaimana keadaan pertandingan di suatu tempat yang tidak pernah ada siaran langsung. Kita hanya bisa mempercayakan pada wasit dan perangkat pertandingan. Dan kalau memang bermental juara sejati, maka, bagaimanapun tetap akan menjadi juara.

About MazGan

Be a Better Human Komentator Segalanya
This entry was posted in Umum. Bookmark the permalink.

Leave a comment